Melirik Diskriminasi Akibat Sistem Kasta Yang Mengakar di Jepang

0Shares

Nada Alifia Susandi (125221058)
Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Airlangga

Melirik Diskriminasi Akibat Sistem Kasta Yang Mengakar di Jepang

A. Latar Belakang Adanya Diskriminasi

Jepang mendunia sebagai negara yang memiliki masyarakat homogen. Masyarakat Jepang yang dikenal memiliki satu kesatuan, selaras, kompak, sehingga memicu ideologi homogenitas ini tentunya memiliki asal-usul. Permulaan munculnya konsep tersebut dimulai pada saat Jepang menerapkan politik isolasi negara (Sakoku) selama kurang lebih dua ratus tahun lamanya.

Politik Sakoku yang dijalankan oleh pemerintahan Tokugawa ini melahirkan
cukup banyak kebudayaan khas yang mendarah daging di Jepang. Meski Jepang membuka diri pada tahun 1868 M yang ditandai dengan adanya Restorasi Meiji, jati diri masyarakat Jepang yang ditempa melalui Politik Sakoku sudah terbentuk sangat kuat. Hal inilah yang menyebabkan Jepang mengklaim bahwa dirinya merupakan negara yang memiliki bangsa homogen. Didukung dengan pernyataan yang diucapkan oleh Perdana Menteri Nakasone Yasuhiro pada tahun 1986 bahwa “Japan is a homogeneous natural community”, atau Jepang sebagai komunitas yang homogen (Denoon, 2001:1).

Namun, di balik keterkenalan sifat homogenitasnya, terdapat etnis-etnis yang ternyata mempengaruhi secara signifikan kepada keragaman penduduk Jepang, sehingga bisa menjadi
bantahan terkait klaim bahwa Jepang memiliki penduduk yang homogen, tanpa mengingat adanya ragam etnis yang ada. Etnisitas di Jepang kini memiliki isu tersendiri karena mengandung kompleksitas yang menjadi tantangan nyata. Terutama etnis-etnis yang
mengalami diskriminasi karena harus terpaksa menghilangkan karakteristiknya sebab demi mewujudkan homogenitas. Hal ini disebabkan oleh faktor historis, hasil dari kebijakan pada Zaman Edo hingga Restorasi Meiji yang mengakar sampai saat ini.

Sebagai masyarakat yang pernah merasakan Politik Sakoku, mengalami isolasi kemudian melejit dalam sektor industri dan sangat mempengaruhi dunia, ternyata Jepang juga menghadapi tantangan dalam dunia sosialnya karena pernah berlakunya kelas sosial pada masyarakat. Tantangan tersebut tentunya dipengaruhi kuat salah satunya oleh historis Jepang Zaman Edo.
Zaman Edo dengan periode kurang lebih dua abad, dari tahun 1608 M hingga 1866 M merupakan masa transisi Jepang dari zaman feodal menuju awal zaman modern. Pada Zaman Edo masa kepemimpinan Tokugawa Iemetsu sang Shogun ketiga, diberlakukan politik untuk membatasi interaksi kepada asing dari berbagai aspek, sehingga mereka menutup diri guna memperkental identitas asli. Periode Keshogunan Tokugawa juga merupakan era diresmikannya strata sosial yang membagi golongan masyarakat.

B. Terkait Sistem Kasta Pada Masa Keshogunan Tokugawa

Pada masa Tokugawa, pemberlakuan kasta pada masyarakat Jepang telah diresmikan. Tatanan sosial ini dibagi dengan strata 士農工商 (Shinoukousho) . Dengan urutan strata sosial pertama adalah militer 士(Bushi), strata kedua petani 農 (Noumin), strata ketiga pengrajin 工 (Kousakunin), dan strata keempat pedagang 商 (Shonin).

Kemudian dua kelas terendah berikutnya yakni strata Eta dan Hinin yakni orang-orang yang dianggap memiliki pekerjaan rendah dan kotor. Kebijakan pembagian kelas ini juga sering dikenal dengan sebutan Heino Bunri. Kebijakan ini sangat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Jepang secara turun temurun. Untuk menjaga kestabilan kebijakan strata sosial pada Era Keshogunan Tokugawa, masyarakat yang sudah terbagi kelasnya tidak boleh menikah dengan lintas hirarki.

Kemudian, tidak diperkenankan juga untuk berpindah kelas sosial, menukar, untuk menaikkan kelas sosialnya. Peraturan ini ditetapkan agar kekuasaan dapat dipertahankan oleh
pemerintahan. Strata Bushi atau militer menempati urutan pertama dikarenakan untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan pengaruh dalam masyarakat sehingga memudahkan pemenangan secara penuh kekuasaan politik pemerintahan, kelompok ini sangat diperhatikan moral dan perilakunya oleh masyarakat.

Orang-orang yang menduduki strata ini ialah keluarga pemerintahan seperti panglima hingga samurai. Kemudian, meski kehidupannya berat dikarenakan pajak yang didapat, strata Noumin atau petani menempati posisi kedua karena
menghasilkan kebutuhan pokok yang dapat mempengaruhi ke berbagai aspek salah satunya pangan dan kesehatan gizi.

Para Pengrajin atau Kousakunin menjadi golongan ketiga karena meskipun mereka bukan penghasil kebutuhan pokok, tetapi mereka menjadi pemasok utama militer dengan kemampuan kerajinan yang mereka miliki. Pedagang memiliki kelas yang lebih rendah dibandingkan pengrajin dikarenakan mereka dianggap mendapatkan keuntungan hasil dari pekerjaan orang lain. Meskipun begitu, kaum pedagang tetap memiliki peluang untuk meraup cukup harta untuk bertahan hidup.

BACA JUGA :   Teras Melody Memeriahkan Gerak Jalan Peringatan Kemerdekaan RI di RW 9 Kampoeng Kajoetangan Heritage

Di luar sistem 士農工商 (Shinoukousho) terdapat dua golongan masyarakat lagi yang tidak diterima baik oleh kalangan kasta, yakni Eta dan Hinin. Dua kelompok ini dianggap memiliki pekerjaan yang tidak manusiawi dan kotor. Sehingga masyarakat menjadi takut dan jijik kepada dia golongan masyarakat ini. Kasta Eta sendiri memiliki kanji 穢多 yang berarti kotoran. Pekerjaan kelas Eta adalah pengolah kulit yang berkaitan langsung dengan bangkai hewan serta darah penyembelihan. Sedangkan Hinin memiliki kanji 非人 yang berarti orang buangan atau bukan manusia.

Mereka merupakan golongan masyarakat dengan pekerjaan meliputi algojo, mantan narapidana, penghibur, gelandangan, hingga pengemis. Penamaan dari golongan pekerjaan orang-orang ini membuat masyarakat semakin menjadi-jadi dalam memberikan stereotip, bahwa dua kasta ini layak dijauhi karena kotor. Ditambah lagi dengan adanya pemahaman Shinto yang mempercayai bahwa darah merupakan sesuatu yang tidak suci karena bisa membawa rasa sakit atau kematian. Hal ini membuat masyarakat percaya bahwa darah merupakan pembawa sial atau pengundang nasib buruk.

Dengan kepercayaan tersebut, membuat golongan Eta dan Hinin mendapatkan perlakuan tidak sama seperti kasta lainnya, bahkan sering mendapat penolakan di masyarakat luas. Persamaan pandangan atas kedua kelompok masyarakat ini membuat nama Eta dan Hinin dijadikan satu penyebutan pada abad ke-19, menjadi 部落民 (Burakumin).

C. Diskriminasi Pada Masyarakat

Masyarakat yang pernah dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, bahkan ada
beberapa golongan masyarakat yang tetap mengalami diskriminasi hingga saat ini, merupakan sebuah dampak jangka panjang dari sejarah Jepang.

Titik awal dari semakin kuatnya pemicu munculnya pembagian golongan masyarakat ini adalah ketika Jepang memasuki awal zaman modern hingga zaman modern. Kebijakan pemerintah yang mengatur sistem kasta dengan dalih memperkuat kekuasaan militer ini tetap erat dalam masyarakat Jepang hingga kini, meski ada klaim Jepang merupakan negara dengan bangsa homogen yang menjunjung persatuan identitas.

Meskipun pemerintah sudah menghapuskan sistem kasta tersebut saat Restorasi Meiji tahun 1869 M, dengan terbitnya Dekrit Senmin Haishirei yang menghapus kelas tercela, atau dikenal sebagai Dekrit Kaihorei (emansipasi) dengan harapan agar Burakumin ini bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak. Namun, berlakunya sistem kasta selama kurang lebih 265 tahun lamanya, stereotip tetap membekas dalam paradigma masyarakat meski telah ada usaha penghapusan kasta. Pada kenyataannya hidup Burakumin menjadi lebih sulit karena mengajarnya pandangan masyarakat.

Pemerintah juga telah melakukan upaya dengan didirikannya Council on Dowa Measures tahun 1961 untuk mendukung organisasi yang melindungi Burakumin supaya diskriminasi berkurang. Akan tetapi terbitnya buku pada tahun 1975 berjudul Tokushu Buraku Chimei Sokan, berisi tentang daerah-daerah lokasi
pemukiman Burakumin yang laku diperjualbelikan oleh perusahaan-perusahaan besar juga masyarakat luas semakin mendorong tindakan diskriminasi kelas sosial masyarakat hingga abad ini.

Survey dari Ministry of Justice Jepang tahun 2020, disebut 17,8% masyarakat
pernah menjadi korban atau pelaku kasus Burakumin, dan 58% diantaranya pada kasus hubungan asmara. Diskriminasi dapat dirasakan masyarakat di luar kasta tersebut juga, hanya karena mereka tinggal di daerah-daerah yang tercantum sebagai lokasi Burakumin, atau tinggal di daerah yang dianggap kotor oleh masyarakat. Hingga kini, nasib orang-orang yang terkena stereotip seringkali mendapat penolakan baik dari pekerjaan hingga hubungan asmara.

Widiandari, A. 2021.Keberadaan Kelompok Minoritas: Mitos Homogenitas Bangsa
Jepang. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan.
Sugimoto, Y. 2010. An Introduction to Japanese Society Third Edition. Cambridge

University Press.
Yamamura, K. 1990. The Cambridge of History Japan. Cambridge University Press.
Widarahesty, Y. Ayu, R. 2011. Politik Isolasi (Sakoku) Jepang Terhadap Nasionalisme
Bangsa Jepang : Studi Tentang Politik Jepang dari Zaman Edo (Feodal) Sampai Perang
Dunia II. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL.

0Shares

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *